Kamis, 17 Juni 2010

Kepedulian itu bernama Zakat

Memiliki kehidupan yang layak dan serba kecukupan adalah idaman semua manusia. Manusia yang hidup dengan membawa segudang kekurangan mensyaratkan adanya sebuah kerjasama yang disandarkan pada sebuah kesadaran bahwa manusia adalah makhluk sosial yang harus menjalin dan menjaga silaturahmi antar sesama.

Seiring dengan perkembangan zaman, hubungan kerjasama antar manusia ini menjadi semakin dinomor duakan. Pasalnya, modernitas zaman telah membentuk karakter baru dalam diri manusia yang awalnya produktif menjadi konsumtif dan idealis menjadi pragmatis. Pergeseran karakter manusia ini meskipun tudak merubah jiwa sosialnya, tetapi telah merubah pola pikir yang berakibat perubahan pola hidup.

Pergeseran karakter itu menjadi semakin parah dengan ditambah kecenderungan manusia yang sangat mencintai harta sehingga manusia menjadi rakus dan tamak. Al hasil hal demikian akan menumbuh suburkan benih-benih apatis dan egois yang jika dibiarkan akan menjadikan manusia hidup dengan hukum rimba.
 
Hukum rimba yang dicirikan dengan sebuah kompetisi antar sesama tanpa mempedulikan harkat, martabat, hak, dan perasaan, dewasa ini telah menjalar hampir di seluruh belahan dunia sehingga berdampak kontrasnya kesenjangan sosial.
 
Sungguh ironis, manusia yang berjiwa sosial dan penuh kasih sayang telah diposisikan pada situasi yang sangat delematis. Di satu sisi manusia membutuhkan dan mengharapkan kehidupan layak yang mau tidak mau harus bersaing mengais rizkinya, tetapi di sisi yang lain menusia memiliki sebuah rasa peduli serta kebencian atas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
 
Di tengah polemik seperti itu, perlulah kiranya kita menelaah kembali makna dan nilai-nilai zakat.

Hakikat Zakat

Zakat menurut Dr. Nu’man, Dosen di King Muhammad Ibnu Saud University, Arab Saudi, zakat adalah ibadah maliyah (harta) yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir.
 
Pun demikian, disyari’atkannya zakat bukanlah semata-mata simbol penyembahan atau ibadah dalam dimensi Hablum Minalloh (hubungan manusia dengan Tuhan), tetapi juga menyimpan dimensi lain yang lebih luas, yaitu Hablum Minannas (hubungan sesama manusia).
 
Dalam tulisan ini, penulis tidak akan berlama-lama dengan pembahasan zakat dalam dimensi ubudiyah (ibadah), karena pembicaraan itu akan selesai jika kita melihat al-Quran surat Al Mujadalah ayat 58 “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” dan Hadits Nabi “siapa saja yang menunaikan zakat karena mengharap pahala dari Allah SWT, maka dia akan mendapatkan fahalanya. Dan barang siapa yang enggan menunaikan zakat, maka Aku akan mengambilnya karena separuh dari hartanya adalah hak dari hak-hak Tuhan kita”. Terlebih jika diperkuat dengan pernyataan sahabat Abu Bakar Shiddik R.A. “Demi Allah, saya membunuh orang-orang yang membeda-bedakan sholat dan zakat. Demi Allah seandainya mereka enggan membayar zakat padahal dulu mereka membayarnya kepada Rosululloh, pasti saya akan membunuhya”.
 
Dalam tataran sosial, zakat memiliki nilai yang juga harus difahami dan dimengarti. Zakat dengan segala prosesnya merupakan sebuah bukti kepedulian manusia terhadap saudaranya, sekaligus sebuah cermin bahwa sebenarnya manusia dengan manusia lainnya adalah sebuah kesatuan dalam masyarakat (sosial) yang salah satunya tidak akan sejahtera ketika tetangganya sengsara karena kesejahteraan itu adalah hak sesama, bukan hak perorangan.
 
Tabiat manusia yang selalu ingin mendapatkan kepuasan secara jasmani ataupun kemewahan, cenderung membuat manusia bersikap bakhil, kikir, egois, serta apatis terhadap kepedihan dan kesengsaraan orang lain.
 
Kalau demikian, bisa dibayangkan betapa kacaunya keadaan manusia jika zakat tidak lagi ditunaikan. Manusia kuat akan terbiasa menganiaya yang lemah, manusia kaya akan hobi mencemooh yang miskin. Tidak ada lagi kasih sayang dan kehormatan, melainkan hanya sayang pada harta, dan hormat pada kekayaan.
 
Untuk menghindari hal itu, sebagai manusia cerdas seharusnya kita berlomba-lomba untuk menunaikan zakat. Karena pada prinsipnya zakat adalah sarana untuk mengobati hati manusia yang sangat mudah terserang tamak. Dengan menyisihkan sebagian hartanya untuk diberikan kepada fakir miskin, manusia akan terbiasa merasakan penderitaan orang lain sehingga dengan sendirinya manusia akan hidup rukun dan saling mencintai. Selain itu, terdapat sederet dampak positif yang akan muncul ketika manusia terbiasa saling memberi. Kemiskinan pun terkikis, kesejahteraan terpupuk karena zakat adalah bukti kepedulian.

Tidak ada komentar:

Artikel Terbaru

Republika Online