Kamis, 17 Juni 2010

Ada apa dengan "Pacul"? - Mencoba menggali keterkaitan budaya dengan dakwah agama

Menurut bahasa, tauhid berarti pengesaan. Dalam ilmu ketuhanan, tauhid berarti keyakinan bahwa Tuhan adalah Esa. Keyakinan bahwa tuhan itu satu adalah pondasi awal yang harus dibangun oleh seluruh manusia karena semua ajaran dan undang-undang agama dibangun di atas tauhid. Oleh karena itu, tauhid memiliki urgensitas yang sangat besar dalam kehidupan.
Mengajarkan tauhid keislaman kepada orang lain adalah kewajiban pertama yang harus dilaksanakan. Hal ini terbukti dari sebagian besar firman Allah yang diturunkan ketika Nabi Muhammad SAW berdakwah di Mekah berisi tentang ke-tauhidan. Proses Transformasi tauhid bisa melalui pengajian, pendidikan formal atau non formal, tulisan, bisa juga melalui pendekatan terhadap tradisi dan kebudayaan.


Penduduk Indonesia umumnya dan masayarakat jawa khususnya, sebenarnya telah mendapatkan pendidikan Tauhid yang sangat jelas melalui metode pendekatan budaya seperti diajarkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Contohnya adalah “pacul’ (bahasa jawa). Pacul dijadikan media dakwah oleh Sunan kalijaga karena dinilai sebagai alat yang bisa dengan mudah menanamkan Tauhid kepada penduduk Indonesia yang selalu berdekatan dengan pacul karena mayoritas mereka adalah petani.

Awalnya, dahulu bila ingin menggemburkan tanah, mayoritas masyarakat jawa menggunakan linggis. Ketika tradisi itu dilihat dan dinilai Kanjeng Sunan Kalijaga sangat menghabiskan waktu dan tenaga, masyarakat jawa diajak untuk menggunakan alat lain yang diberi nama “pacul” agar lebih menghemat waktu dan tenaga. Pertanyaannya, mengapa Kanjeng Sunan Kalijaga menamai alat itu dengan pacul? Apa makna dari istilah pacul? dan apa nilai ajaran yang ada dalam pacul?.

“Pacul, Sifat papat ojo ucul” –bahasa jawa- (sifat empat jangan lepas). Sifat empat itu adalah Sifat “Nafsiyah, salbiyah, ma’ani, maknawiyyah” yang didalamnya adalah 20 sifat wajib bagi Allah SWT. Inilah makna yang terkandung dalam nama “pacul”.

Dari sini berarti ada empat hal yang ingin disampaikan oleh Sunan Kalijaga melalui pacul.

Yang pertama adalah “sifat nafsiyah”. Sifat nafsiyah adalah sifat yang hak ada pada Allah. Yaitu “wujud” (ada). Ini berarti melalui pacul, sunan kalijaga berusaha menanamkan keyakinan pada masyarakat akan keberadaan Allah SWT sehingga senantiasa mereka bersikap baik sesuai dengan norma-norma yang ada.

Yang kedua adalah “sifat salbiyah”, yaitu sifat yang menampik semua sifat mustahil untuk ada pada Allah SWT. Sifat-sifat itu adalah “kidam (terdahulu tanpa permulaan), baqo’ (kekal tanpa akhir’, mukholafatu lil hawadits (berbeda dengan makhluk), kiyamuhu bunafsih (berdiri sendiri), dan wahdaniyat (tunggal atau esa)”. Kelima sifat tersebut menampik adanya sifat “baru (memiliki permulaan), hancur (memiliki akhir), menyerupai makhluk, membutuhkan yang lain, lebih dari satu” yang semuanya adalah sifat-sifat makhluk dan mustahil ada pada Allah.

Yang ketiga dan keempat adalah sifat “ma’ani dan maknawiyah”. Sifat ma’aniy adalah sifat yang menyebabkan adanya sifat lain yang melekat pada sifat ma’aniy, yaitu sifat ma’nawiyah. Dengan kata lain, sifat ma’nawiyah ada karena adanya sifat ma’aniy. Sifat-sifat itu adalah “kudrot (berkuasa), irodat (berkehendak), ilmu (mengetahui), hayat (hidup), sama’ (mendengar), bashor (melihat)”. Ke-6 sifat tersebut menyebabkan adanya 6 sifat lain yang sesuai dengan sifat 6 pertama, yaitu “yang Maha Berkuasa, yang Maha berkehendak, yang Maha Mengetahui, yang Maha Hidup, yang Maha Mendengar dan yang Maha Melihat”.

Kesimpulannya, di dalam nama “pacul” terdapat 20 sifat wajib bagi Allah yang harus diketahui dan diyakini oleh umat islam. Dua puluh sifat itu terangkum dalam empat bagian, yaitu “sifat nafsiyah, salbiyah, ma’ani dan ma’nawiyah”.

Kalau demikian, dari pacul kita telah mengetahui betapa sempurnanya Allah SWT. DihadapanNya kita bukanlah siapa-siapa. Tahta, kekuasaan, dan kekayaan yang kita miliki sebenarnya adalah milik Allah. Karena diakui atau tidak, “kita hanyalah benda yang kaluar dari dua jalan kencing, bagaimana kita bisa sombong?”. (Hasan al-Bashri, sofwatut tafasir). Banyak orang tidak mau sholat dan puasa karena sombong dan yakin bahwa dia telah memiliki banyak pahala dari sedekahnya. Banyak orang berdusta karena sombong dan yakin bahwa ibadah sholatnya telah cukup bisa memngantarnya ke surga. Padahal kita tau bahwa Allah maha berkehendak. “Saya mau, anda mau, tapi Allah berhak atas kemauanNya”.

Tidak ada komentar:

Artikel Terbaru

Republika Online