Minggu, 05 September 2010

Idul Fitri dan Semangat Kebersamaan (Sumber: PesantrenVirtual.com)

Pada hari yang mulia ini, kita sama-sama tengah menyelenggarakan suatu perayaan besar ummat Islam di seluruh dunia, yaitu perayaan idul fitri atau yang biasa kita kenal dengan hari raya lebaran. Satu bulan penuh kita digembleng oleh Allah swt dalam suatu training ruhani yang disebut puasa, maka kita berdoa kepada Allah swt, semoga puasa yang telah kita jalankan beberapa hari yang lalu, dapat mengantarkan kita sebagai pemenang dan hamba-hamba pilihan dengan predikat al-muttaqun atau orang-orang yang bertaqwa. Sebagaimana yang disinggung dalam firman Allah swt.
“Wahai orang-orang yang berimanan telah diwajibkan kepadamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada  orang-orang terdahulu sebelum kamu, agar kamu sekalian bertaqwa” (al-Baqara:183).

Yang disebut dengan orang-orang bertaqwa setelah ia menjalankan ibadah puasa adalah, orang-orang yang senantiasa dapat mengontrol dirinya untuk mampu berada pada jalan Allah swt baik atas setiap apa yang Allah anjurkan atau Ia larang. Ia dapat menundukkan hawa nafsunya setelah bulan puasa, untuk selalu melakukan apa yang Allah perintahkan, seperti menjalankan shalat lima waktu, bersedekah kepada fakir miskin, menyambung tali silaturrahmi, memaafkan kesalahan orang lain, bekerja dengan penuh amanat dan lain-lain. Di samping itu, dengan takwa ini, ia dapat mengontrol jiwannya untuk tidak sedikitpun terdetik dalam hatinya melakukan perbuatan-perbuatan yang akan mengundang murka dan laknat Allah swt, seperti: menebarkan kebencian kepada sesama muslim,  berlaku curang dalam setiap kebijakan dan perlakuan, berbohong, berkhianat, tidak amanah dalam bekerja, menahan harta dan hak orang lain secara tidak adil dan lain-lain. Jika seseorang telah mampu mengendalikan diri untuk selalu memposisikan jiwanya untuk senantiasa taat akan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah swt, itulah sesungguhnya orang-orang yang telah keluar dari bulan ramadhan dengan predikat  al-muttaqun atau orang yang bertaqwa sebagaimana yang dipesankan oleh ayat al-Quran tadi.

Tentunya dalam memahami puasa yang baru saja kita lalui, ada sesuatu yang harus kita kedepankan, yaitu niat kita berpuasa didasarkan atas pendekatan keimanan. Dengan dasar seperti ini, kita tentu melakukan puasa, lebih didasarkan pada mengikuti perintah Allah SWT, bukan karena alasan-alasan lain. Adapun kalau ada yang mengatakan puasa itu dapat menyehatkan badan dan jiwa, itu adalah hikmah atau manfaat dari perilaku puasa yang dilakukannya. Sebab belakangan, secara medis, puasa itu diketahui dapat memberikan kesehatan jiwa, di samping juga jasmaninya. Paling tidak, hal ini diungkap dalam buku karya Dr. Alan Cott, yang berjudul “Fasting is The Way of Life”

Dalam buku tersebut, Cott menyebutkan bahwa gangguan jiwa yang parah dapat disembuhkan dengan berpuasa. Penelitian yang dilakukan Alan Cott terhadap pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Grace Square New York juga menemukan hasil yang sejalan, pasien sakit jiwa ternyata bisa sembuh dengan terapi puasa.

Atas dasar inilah maka jika kita kembalikan kepada Al-Qur’an, tepatnya ayat yang saya sebutkan di atas, sesungguhnya kalimat “Kutiba Alaikum as-Shiyam” yang artinya “Telah diwajibkan atas kamu berpuasa”, disana Allah swt tidak menyebutkan subyek siapa yang mewajibkan puasa itu, sehingga kalimat tersebut dibiarkan menjadi kalimat pasif (diwajibkan), seolah-olah Allah Swt, hendak mengatakan, bahwa sekalipun tidak Allah wajibkan puasa kepada manusia, niscaya manusia sendiri lah yang akan mewajibkan dirinya untuk berpuasa, oleh sebab di dalam  puasa tersebut terdapat manfaat dan hasiat yang amat luar biasa bagi kesehatan jiwa dan raga kita.

****
Setelah selesai berpuasa, sekarang tibalah saatnya kita memasuki hari raya idul fitri. Suatu hari raya yang dimana kita dianjurkan oleh agama kita untuk meluapkan rasa kebahagiaan  dan kegembiraan atas kemenangan jiwa kita memerangi hawa nafsu selama satu bulan penuh. Idul fitri yang berarti “kembali kepada fitrah”, yaitu fitrah awal kemanusiaan kita, yang tidak memiliki dosa dan kesalahan, disebabkan pada hari ini pula, perasaan hati kita senantiasa diliputi untuk selalu meminta maaf dan sekaligus memaafkan atas segala kesalahan yang diperbuat oleh diri kita juga oleh orang lain. Sehingga hari raya idul fitri ini, benar-benar menjadi wasilah bagi menyebarnya rasa cinta dan kasih sayang bagi sesama muslim di seluruh dunia. Tidak ada lagi kata marah, tidak ada lagi kata benci, tidak ada lagi kata emosi, namun pada hari ini, yang ada adalah kata rindu, yang ada ialah kata cinta,  dan yang ada ialah kata maaf. Demikianlah dahsyatnya pengaruh hari raya idul fitri ini dalam menciptakan keharmonisan hubungan antar sesama ummat Islam ini.

Di samping dengan adanya tradisi saling memaafkan ini, pada hari idul fitri ini pula kita memiliki budaya berbagi kebahagiaan dengan saling memberi sebagian anugerah harta yang kita miliki. Yaitu budaya mengundang atau mengahadiri undangan disisipi dengan menyediakan hidangan ala kadarnya sebagai rasa syukur atas nikmat yang Allah berikan kepada kita. Bahkan pada hari ini juga, merupakan waktu yang paling dianjurkan bagi mereka yang diberikan kelebihan harta untuk mengeluarkan zakat fitrahnya kepada para fakir miskin. Maka idul fitri sesungguhnya adalah saat yang paling tepat bagi kita untuk meluapkan kebahagiaan kita, melalui cara membagi kebahagiaan tersebut kepada mereka yang kurang beruntung.  Demikianlah makna idul fitri yang sesungguhnya, idul fitri tidak boleh hanya dirasakan hanya bagi mereka yang memiliki anugerah keberuntungan secara materil saja, akan tetapi idul fitri juga harus dapat dirasakan oleh seluruh ummat Islam yang lainnya untuk sama-sama merasakan keberkahan hari kemenangan ini. Sebagaimana halnya pesan sosial puasa, yang tidak lain adalah agar kita pun yang berpuasa benar-benar memahami dan merasakan kepayahan orang yang fakir dan miskin yang terbiasa merasakan sakitnya lapar dan dahaga. Sehingga apapun yang kita lakukan, sekalipun ia berdimensi ibadah, akan tetapi ia tidak hanya dirasakan pada aspek individual saja, melainkan berdampak juga pada aspek sosialnya.

Maka dari itu, banyak sekali ajaran Islam yang menitikberatkan kepada kita untuk tidak melulu terpokus kepada penciptaan kesalehan pribadi atau individual, melainkan agar kesalehan individual ini juga memiliki dampak terhadap penciptaan kesalehan sosial antar sesama kita. Dari sini, sesunggunya agama Islam, bukanlah agama yang menginginkan agar ummatnya menjadi ummat yang egois, mementingkan diri sendiri, tidak memperdulikan orang lain. Namun agama Islam justeru senantiasa mengkaitkan kesuksesan individu manusia sebagai hamba Allah swt, dengan kesuksesannya sebagai mahluk sosial. Dengan menyadari bahwa ibadah tidak terbatas pada amalan-amalan ritual, maka seseorang selalu mempergunakan hati dan pikirannya dalam pergaulan di dunia ini. Ia tidak akan berbuat dzalim terhadap sesamanya, baik kezaliman fisik, psikis ataupun kezaliman dengan cara merampas hak orang lain. Ibadah ritual sebanyak apapun tidak akan berarti apa-apa jika orang yang melakukannya tidak mampu menjaga dirinya dengan baik tindakan-tindakan sosialnya.

Hal ini berarti, apa gunanya kita sering sholat, jika ternyata masih banyak Saudara kita yang sering terluka dengan ucapan kita. Apa gunanya kita selalu berpuasa, jika ternyata masih banyak Saudara kita yang tidak nyaman dengan perbuatan dan sikap kita yang angkuh. Apa gunanya kita sering berhaji, jika masih banyak Saudara bahkan tetangga kita yang menahan sakit karena lapar dan kedinginan akibat hidup beratapkan kolong jembatan.

Selain dari pada hal yang di atas, salah satu yang telah menjadi tradisi sekaligus diperbolehkan oleh ajaran agama kita, yaitu, pada saat idul fitri ini kita dapat mengungkapkan kebahagiaan dengan cara-cara apapun selama ia sesuai dengan tuntunan syariat agama kita. Seperti merayakan idul fitri dengan berkumpul di suatu tempat untuk bersilaturrahmi, diiringi dengan lantunan lagu-lagu yang Islami, atau anasyid-anasyid yang mengagungkan asma Allah dan bulan ramadlan atau yang lainnya. Dan nampaknya hal serupa pun pernah dilakukan oleh para sahabat di masa nabi Muhammad saw masih hidup. Kita sebut saja satu hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, bahwa suatu ketika Abu Bakar RA tengah berlebaran ke rumah rasulullah saw, namun tiba-tiba sesampainya ia ke rumah rasulullah, ia menjumpai putrinya yang tidak lain ialah Aisyah (istri Nabi) sedang bernyanyi menggunakan alat rebana (dufuf) bersama dua orang budak wanita. Melihat hal tersebut, secara kasar Abu Bakar, memarahi mereka seraya berkata,”A-Mizmaaru as-Syaithan fi baiti rasulillah”   “Bagaimana bisa koq seruling syeitan ada di rumah rasulullah?”. Sang baginda rasulullah saw yang tengah tidur-tiduran di kamar, ketika mendengar suara keras dari Abu Bakar, langsung terbangun, lalu beliau berkata,” Da’hunna ya Aba Bakrin, Liya’lamu anna fi diiniya fushah, wa inni bu’itstu bil hanafiyati as-samhah” yang artrinya: “Wahai Abu Bakar!, biarkanlah mereka bernyanyi dan bergembira, agar semua orang tahu bahwa dalam agama kita juga terdapat kemudahan, dan sesungguhnya aku diutus dengan ajaran yang penuh kemudahan” . Atau saya mengartikannya, Islam adalah  agama yang rileks.

Bahkan dalam sebagian riwayat dinyatakan pula, bahwa pada hari idul fitri ini pernah para pemeluk Islam yang berasal dari Habasyah atau Ethiopia sekarang ini, ketika mereka berada di Madinah bersama rosulullah, melakukan pagelaran tarian suku di dalam masjid nabawi, dan banyak dari para sahabat juga rosulullah saw hadir memberikan semangat bagi mereka yang tengah meluapkan kegembiraan pada hari kemenangan ini.

Dari peristiwa di atas, tentunya kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa Idul fitri adalah hari dimana kita diperbolehkan untuk berbagi kebahagiaan kepada sesama kita, berbagi kebahagiaan ini tentunya juga harus melibatkan orang-orang yang selama ini dianggap kurang beruntung secara ekonomi sehingga mereka juga dapat merasakan kebahagiaan tersebut. Kemudian mediasi dalam meluapkan kebahagiaan ini juga bisa dilengkapi dengan menampilkan kreasi seni musik yang Islami dan tentunya sesuai dengan suasana religiusitas Idul fitri.

Demikian indah dan agungnya agama Islam ini, Agama yang penuh kemudahan dan kesejukan dalam setiap ajarannya. Yaitu agama yang benar-benar sesuai dengan fitrah kemanusiaan, agama yang tidak pernah memerangi hawa nafsu kita, akan tetapi selalu membimbing nafsu kita untuk tampak lebih terarah dan beroperasi sesuai dengan porsi dan fungsinya. Agama yang tidak menginginkan manusia seperti halnya malaikat-malaikat suci yang tugasnya hanya monoton taat pada satu perintah Allah swt. Akan tetapi agama Islam sungguh agama yang realistis dan mengakui segala hajat dan hak manusia. Sesuai dengan sabda nabi Muhammad Saw. “

“sesungguhnya bagi tubuhnmu terdapat hak atas dirimu, sebagaimana bagi akalmu terdapat hak atas dirimu, maka berilah hak itu sesuai dengan porsinya masing-masing”.
              
Terakhir sebagai penutup, memang tidak bisa dipungkiri sejak tahun 1990-an hingga kini, perayaan Idul Fitri secara bersamaan sulit terlaksana di Indonesia. Karena itu pula, yang perlu dikembangkan ke depan adalah perbedaan tersebut perlu diwujudkan dalam hal-hal yang positif; dan tidak dalam hal yang negatif. Tentunya, perwujudan positif dalam menanggapi perbedaan itu bisa berupa sikap saling menghargai perbedaan yang ada dan membangun toleransi antarsesama umat. Sehingga dengan demikian, semangat fitri yaitu kembali ke yang suci (fitrah) akan melekat pada diri kita semua. Selain itu, yang paling penting dalam menyikapi perbedaan ini adalah membangun persatuan bangsa Indonesia di atas keragaman. Karena hal ini pula, yang menjadi semangat dan melanggengkan kebangsaan kita selama ini. Meskipun masih terjadi perbedaan soal Hari Raya Idul Fitri, kita tetap perlu mengembangkan Islam yang menghargai perbedaan dan toleran, serta menjunjung tinggi keutuhan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kita harus hidup bersama dalam keberbedaan sehingga mampu bersikap toleran dan membiarkan berbeda dalam kedamaian. Wallahu’alam bi-shawab.

Tidak ada komentar:

Artikel Terbaru

Republika Online