Minggu, 20 Juni 2010

Maulid Nabi Dan Kebangkitan Umat

Oleh : Hary Kustanto
 
Peringatan maulid Nabi Muhammad pertama kali dilaksanakan pada musim haji bulan Dzulhijjah 579 H (1183 Masehi). Adalah Sultan Solahuddin Al-ayyubi sebagai panglima dalam perang salib melihat kemerosotan semangat juang ummat islam. Dalam keadaan yang seperti itu, Solahuddin Al-ayyubi beinisiatif untuk membangkitkan semangat juang ummat islam dengan cara mengingat kembali sejarah kelahiran dan perjuangan Rosulullah SAW dalam menyebarkan agama islam. “Kalau sebelumnya hari kelahiran Rosulullah berlalu begitu saja tanpa adanya sebuah ritual khusus, maka mulai tahun ini, kita harus memparingati kelahiran Nabi demi eksistensi ummat”, himbau Solahuddin.

Ternyata, peringatan maulid Nabi yang dimotori dan diselenggarakan oleh Solahuddin mampu memberikan hasil yang positif. Lihat saja betapa berkobarnya semangat ummat islam dalam perang merebut kembali kota Yerussalem dan Masjid al-aqso.
 
Berangkat dari historisitas peringatan maulid, jelas bahwa peringatan Maulid dapat berdampak positif bagi kebangkitan ummat yang bisa dirasakan tidak oleh sebagian orang, melainkan seluruh ummat. Perlu diperhatikan, bahwa nilai-nilai positif ketika memperingati hari kelahiran Rosulullah bukanlah sebatas dalam konteks peperangan, tetapi juga bisa berperan dalam membangun keluarga sakinah, meningkatkan prestasi belajar, memberantas kemiskinan, pornografi, dan narkoba. Bahkan bisa juga berpengaruh dalam urusan yang lebih luas, seperti politik luar negeri dan diplomasi. Semua tergantung bagaimana kita mengambil pelajaran dari sejarah kehidupan dan perjuangan Rosulullah.
 
Ironisnya, rutinitas maulid Nabi yang telah mengakar di Indonesia, seakan berlalu sebagai rutinitas belaka. Maulid Nabi dilaksanakan tiap tahun diberbagai daerah tak lagi mampu memberikan dampak positif seperti layaknya Sultan Solahudin. Mengapa?sebuah pertanyaan yang kiranya menjadi sebuah pertanyaan yang sulit dijawab tanpa perenungan mendalam.
 
Sepertinya sebuah budaya “ikut-ikutan” telah menjadi penyakit kronis dalam jiwa ummat islam. Mereka tidak mengetahui, bahkan tidak mau mencari tau jutaan nilai yang terkandung dalam sejarah peringatan Maulid. Lihat saja betapa mereka memperingati Maulid hanya sebatas “ceremony” tanpa follow up setelahnya.
 
Dari sini muncul sebuah tawaran. Alangkah baiknya jika setelah memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, kita segera melakukan evaluasi dalam diri kita, keluarga dan Negara. Individu terhadap dirinya, ayah terhadap keluarga, dan para pemimpin disetiap konstituen melakukan koreksi pada birokrasinya. Dengan demikian, setelah kita mengetahui penyakit atau kesalahan dalam diri atau system yang selama ini marangkul kita, kita bisa segera mencari solusi dari sejarah Nabi Muhammad SAW. Dari sini kita telah mengetahui bahwa “aksi nyata” adalah satu hal yang terlupakan dari setiap rutinitas yang kita lakukan.
 
Kalau kita hanya diam, Bukankah lebih baik kita hentikan saja rutinitas yang hanya memubadzirkan harta?, bukankah peringatan maulid Nabi yang berakhir tanpa dampak positif bisa menimbulkan kekecewaan bagi yang diperingati?. “Kita puji diriNya, tapi kok kita tidak meniru perilakuNya?”.

Tidak ada komentar:

Artikel Terbaru

Republika Online