Secara bahasa kata I’jaz berasa dari kata a’jaza yang berarti melemahkan. Kebalikan dari Qudrah yanag berarti kuat. Jadi I’jaz artinya ketidak mampuan ditiru. Dalam kaitanya dengan al-Qur’an kata itu menunjuk pada hakekat al-Quran yang menakjubkan, yang tidak dapat ditiru. Sebagai suatu istilah teknis, I’jaz didefinisikan sebagai fenomena al-Quran yang menyebabkan tidak ada manusia yang mampu meniru baik pada bagian-bagiannya maupun dalam keseluruhan isinya. Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”
Salah satu kemu`jizatan Al-Qur`an terletak pada sisi ash-Sharfah-nya. Ash-shorfah adalah bentuk mashdar dari صرف yang berarti merubah, mengganti dan berpaling. Dalam hal ini makna yang cocok untuk الصرفة adalah berpaling.
As-sharfah pertama kali dilontarkan oleh tokoh `ijaz Alqur`an dari kalangan mu`tazilah Abu Ishaq Ibrahim al-Nizam, menurutnya bahwa letak kemukjizatan dan kehebatan al Qur`an ada pada Assharfah, yaitu Allah memalingkan dan mencabut segenap kemampuan para pujangga arab untuk menandingi al-qur`an.[1] lebih lanjut al Nizam mengatakan:“ Sesungguhnya Allah tidak menurunkan Alquran untuk menjadi bukti sebuah kenabian, akan tetapi sebagaimana kitab kitab lain yang diturunkan dari langit untuk menjelaskan berbagai hukum halal dan haram. Dan ketidakmampuan orang arab menandingi al qur`an tidak lain karena Allah memalingkan dan mencabut kemampuan mereka dari semua itu “.
Paham As-sharfah lebih memposisikan Allah sebagai peringatan atau wahyu dan Dia pula yang menjaga keutuhannya, karena Al qur`an berasal darinya dan Ia yang menjaganya, sebagaimana ayat al qur`an menyatakan ”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.[2] Kaum mu`tazilah meletakan posisi sharfah pada Allh sebagai pemegang kendali Al-Qur`an.
Berbeda dengan mu`tazilah. Ahlu As-sunah berpandangan bahwa ash-Sharfah tidak bisa di nisbatkan pada creator Qur`an (Allah), karena faktanya Al-Qur`an itu sendiri yang mengandung kemu`jizatan. Pertama, Komposisi gaya bahasa (balaghi), keterkaitan makna dengan kata kata, susunan ayat yang sistematis. Imam Al-Jahidh menambahkan dalam kitab Nuzdumul Qur`an dan Hujjatun Nabaiyah, bahwa kemu`jizatan al-Qur`an itu hanya terfokus pada lafal-lafalnya saja (الاعجاز انما هو في النظمان). Hal ini disebabkan susunan lafal lafal Qur`an berbeda dengan kitab kitab lain, terutama dengan adanya lafal mufrad dan murakkab, adanya taqdim dan takhir, adanya khadaf dan dzikr, adanya washal dan fashal, dany yang lainnya cukup menakjubkan. Kemu`jizatan secara bahasa ini tidak lepas dari turunnya al- Qur`an pada saat kemajuan mutu sastra arab. Sehingga mau tidak mau al-Qur`anpun menyesuaikan dengan situasi dan kondisi bangsa arab. Maka, tidak heran jika kitabnya kaum mukminin ini sarat dengan muatan sastranya. Kedua, kemu`jizatan Qur`an dari sisi Tasyri`i. kandungan hukum hukum syari`at dalam Qur`an. Pada saat penetapan hukum hukum yang mengatur manusia sangat rasional dan bisa diterima oleh semua kalangan hingga saat ini. “Al-Quran Shaalihun li kulli zaman wal makan” menjadi tidak terbantahkan konsistensinya. Ketiga, Al-Qur`an juga mampu menerawang hal hal yang ghaib dan masa yang akan datang. Seperti, pemberitaan bangsa Rumawi yang pada mulanya dikalahkan oleh bangsa Persia, tetapi setelah beberapa tahun kemudian kerajaan Ruum dapat menuntut balas dan mengalahkan kerajaan Persia kembali. Ini adalah suatu mukjizat Al Quran, yaitu memberitakan hal-hal yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dan juga suatu isyarat bahwa kaum muslimin yang demikian lemahnya di waktu itu akan menang dan dapat menghancurkan kaum musyrikin. Isyarat ini terbukti pertama kali pada perang badar.[3]
Estetika Al-Qur`an jelas tergambar dari keseluruhan komponen dalam Qur`an. Maka, mu`jizatnya Khariqun Lidzatihi, kandungan keluar biasaan Qur`an ada pada Al-Qur`an itu sendiri. Kaum Syi`ah berpendapat, bahwa ash-Sharfah bukan terletak pada Allah dan bukan juga pada Al-Qur`annya, melainkan pemalingan itu bersifat external (khariqu Lil Ghair). dalam artian pemalingan (ash-Sharfah), bahwa manusia mampu berkreasi untuk membuat hal yang serupa dengan Al-Qur`an, karena karena kecanggihan akal manusia. Namun fitrah manusi cenderung pada kebenaran, maka pemalinganpun muncul pada diri manusia dan lingkungan sekitar yang membuat ia tidak percaya diri akan kemampuan yang ia miliki. Seperti, Musailamah Al-Kadzab yang telah memalsukan Al-Qur`an, berbagai penolakanpun muncul justru bukan dari orang Islam, melainkan dari orang orang sekitar Musailamah dan para pujangga yang paham kesusastraan.
[1] Adabiyat,….hal.13
[2] Al Hijr, ayat. 9
[3] Muqaddimah QS. Ar-Ruum, Al-Qur`an Digital
Tidak ada komentar:
Posting Komentar